Per***** dengan Semangat
Mungkin judul itu satu-satunya highlight yang menggambarkan kehidupan Tingkat 3 masa awalan kepala duaku. Untuk seseorang yang mengaku tim bahwa cerita tidak menyelesaikan apapun, i stand with you! Sayangnya, mind set seperti itu hanya terbentuk saat Tingkat 3 --masa dengan semua hanya serba kesulitan rasanya.
Mengawali sesuatu dengan niat yang tidak kokoh -percayalah pada apapun kegiatannya- siaplah rubuh kapan pun angin menghantammu. Mind set yang terbentuk karena keacuhan luar biasa dalamnya hanya karena niat yang salah, percayalah, sampai akhir tetaplah salah. Tapi, kesalahan juga membawa pelajaran. Membawa hikmah sebagai harapan perjalanan.
Memiliki mind set yang ditanamkan bahwa memang sejatinya kita selalu sendiri -karena cerita apapun tidak membawa penyelesaian apapun, sekalipun tidak ada yang perlu diselesaikan- tidaklah selalu bisa digunakan. Karena... Kita bisa memilih orang-orang tertentu. Yang bisa kita buatkan kotak serupa tapi tak sama dari apa yang kita rasakan.
Iya, walau tidak menepis kemungkinan bahwa kita akan tetap berkata, per***** dengan kata semangat.
Ini bukan tentang masalahmu, masalahnya, atau pun kata semangat itu sendiri. Ini tentang... Kesempatan. Kesempatan melihat orang-orang yang benar-benar ada di sekelilingmu. Jiwa dan raganya yang disampingmu. Mungkin tidak sepenuhnya, tapi rasanya tetap nyata.
Karena, kata nanti belum tentu bisa menciptakan sesuatu untuk terjadi lagi. Sekalipun nanti yang kita maksud terjadi, moment itu sendiri sudah berlalu. Yang tersisa hanya wujud raganya, moment yang membuat jiwanya tinggal sudah tidak ada.
Ya, itu menjadi hikmah terbesarku dari Tingkat 3. Losing the moon while counting the stars. Walaupun bulan hanya satu, rasanya aku tidak terlalu dekat dengan semua teman-teman yang mengelilingiku. Bintang memang banyak, tapi aku hanya sibuk menghitung apa-apa yang ku dapat dari seorang saja.
Ya, moment Tingkat 3 ku tidak akan pernah bisa datang lagi. Tapi, moment Tingkat 4 ku masih bisa diisi dengan teman-teman sekeliling Tingkat 3 ku. "Maka nikmat (Tuhanmu) mana lagi yang kai dustakan?"
Jadi, tetap saja, semangat kita semua!
Terimalah, walau tetap membuat kita berkata demikian.
Mengawali sesuatu dengan niat yang tidak kokoh -percayalah pada apapun kegiatannya- siaplah rubuh kapan pun angin menghantammu. Mind set yang terbentuk karena keacuhan luar biasa dalamnya hanya karena niat yang salah, percayalah, sampai akhir tetaplah salah. Tapi, kesalahan juga membawa pelajaran. Membawa hikmah sebagai harapan perjalanan.
Memiliki mind set yang ditanamkan bahwa memang sejatinya kita selalu sendiri -karena cerita apapun tidak membawa penyelesaian apapun, sekalipun tidak ada yang perlu diselesaikan- tidaklah selalu bisa digunakan. Karena... Kita bisa memilih orang-orang tertentu. Yang bisa kita buatkan kotak serupa tapi tak sama dari apa yang kita rasakan.
Iya, walau tidak menepis kemungkinan bahwa kita akan tetap berkata, per***** dengan kata semangat.
Ini bukan tentang masalahmu, masalahnya, atau pun kata semangat itu sendiri. Ini tentang... Kesempatan. Kesempatan melihat orang-orang yang benar-benar ada di sekelilingmu. Jiwa dan raganya yang disampingmu. Mungkin tidak sepenuhnya, tapi rasanya tetap nyata.
Karena, kata nanti belum tentu bisa menciptakan sesuatu untuk terjadi lagi. Sekalipun nanti yang kita maksud terjadi, moment itu sendiri sudah berlalu. Yang tersisa hanya wujud raganya, moment yang membuat jiwanya tinggal sudah tidak ada.
Ya, itu menjadi hikmah terbesarku dari Tingkat 3. Losing the moon while counting the stars. Walaupun bulan hanya satu, rasanya aku tidak terlalu dekat dengan semua teman-teman yang mengelilingiku. Bintang memang banyak, tapi aku hanya sibuk menghitung apa-apa yang ku dapat dari seorang saja.
Ya, moment Tingkat 3 ku tidak akan pernah bisa datang lagi. Tapi, moment Tingkat 4 ku masih bisa diisi dengan teman-teman sekeliling Tingkat 3 ku. "Maka nikmat (Tuhanmu) mana lagi yang kai dustakan?"
Jadi, tetap saja, semangat kita semua!
Terimalah, walau tetap membuat kita berkata demikian.
Komentar
Posting Komentar