Menulis di Mana Saja, Mengamati Apa Saja

Hola! Selamat apapun bagi kamu yang sedang membaca ini, semoga usahamu membuahkan hikmah untukmu.

Dewasa ini, gadget berupa handphone rasanya menjadi kebutuhan primer setiap orang. Di mana ada orang, di tangannya ada handphone. Tidak dipungkiri, kehadirannya membuat jendela dunia serasa ada di genggaman kita. Bagi kalian pecinta keramaian yang sunyi, handphone menghadirkan dunia maya yang begitu luas.

Seperti postingan sebelumnya: Menulis di Mana Saja, tapi di Mana Saja Tidak Selalu Menulis, ada cara lain mengikat ilmu, yaitu dengan memandangi orang lain.

Pernahkah kalian benar-benar pergi mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti bioskop, taman, atau tempat berkerumunnya banyak orang, sendirian? Entah dengan tujuan menonton film, entah berkunjung, apa pun itu, tapi kalian benar-benar melakukannya sendiri?

Bersiap tanpa persiapan yang berarti, berjalan dengan sangat lamban, duduk atau pun berdiri yang tanpa mengeluarkan banyak tenaga, kemudian memandangi orang-orang. Hanya dengan duduk, lalu kau memandangi sekelilingmu. Atau pun berdiri, kemudian kau menatap sekitarmu. Ramai sekali, riuh-rendah, anehnya tidak berisik.

Matamu akan diterpa pemandangan seorang pedangang gorengan yang menjajakan jualannya, seorang ibu yang memegang kantung plastik sembari menawarkan kepada pendatang masjid satu per satu, seorang penjaga gerbong yang tatapannya menembus jendela kereta, seorang anak yang sibuk berlari dengan anak yang lain, seorang pengemis yang terdiam di tengah jembatan, hingga seorang bapak yang sedang duduk melakukan hal yang sama sepertimu --memandangi sekelilingnya.

Anehnya, sungguh, telingamu tidak mengeluh dengan kebisingan yang menempanya. Bahkan wajahmu tidak mendesakmu untuk mencari tempat yang lebih teduh. Dan kakimu tidak berteriak pegal atas perbuatan yang kau lakukan itu --karena perjalanan yang kau tempuh entah sudah sejauh mana.

Kenapa? Karena rasanya, setiap hari sudah selayaknya, pasti ada sesuatu yang perlu kita syukuri. Sesumpek rak dengan semua buku yang berdesakan, sekosong bak mandi yang belum diisi, bahkan sekecil jarum jawaban dalam jerami masalah kita, pasti ada sesuatu yang perlu kita syukuri hari itu.

Mungkin akan sampai di waktu tertentu, bahwa tidak semuanya bisa dituliskan, tapi hanya bisa diamati. Tidak perlu menuliskan semua keluhan, tapi bisa melihat raut wajah orang lain.

Suatu kali, dengan tujuan membeli kaos kaki sebagai alibi, pergi ke pusat grosir terbesar di Cililitan menjadi tujuanku. Alibi tetaplah alibi yang harus dipenuhi --tetap membeli kaos kaki. Dengan dalih haus, alih-alih membeli minuman, es krim menjadi jawaban. Sayangnya, es krim kesukaanku adalah es krim vanilla dengan cone--dimana manisnya rasa dingin akan lebih terasa live setelah keluar dari freezer toko--yang membuatku harus berpikir keras mencari tempat duduk.

Kenapa tidak di dalam toko? Kalau di sana, yang bisa ku lihat hanya 1 jenis orang, yap yang sedang makan di franchise kelas menengah ke atas. Dengan menyadari malaikat di kanan-kiriku ini menatapku, ku tahan segala jenis perlengketan yang menimpa tanganku, argh. Sampailah di tempat duduk, dan hap hap hap. Tidak butuh 3 menit, habis.

Kemudian berbicaralah kakek di sebelahku, "kamu hebat nak, makannya sambil duduk. Tidak seperti orang itu, itu dan itu" ucapnya sambil menunjuk orang yang sedang meminum kopi sambil berjalan, orang yang sedang berdiri menggigit sosis panjangnya, dan orang yang setengah duduk mengangkat mangkuk bakso dan memasukkan bakso ke mulutnya.

Sesederhana mendapat permen dari seorang kakak, aku tersentuh. Bahwa masih ada yang mau menegur orang dengan prinsip ini. Kakek itu hanya tersenyum dan tak lama pergi. Maka berakhirlah tatapan-tatapanku sore itu.

Di lain waktu, saat ujian Komprehensif berlari siap menyeruduk segala persiapanku, aku benar-benar tidak bisa berkompromi dengan semua modul Komprenya! Saat itu h-3, aku dengan semua prinsip belajarku bahwa apapun yang terjadi harus tetap belajar, memutuskan pergi. Bukan karena ingin, tapi karena memang seberisik itu isi kepalaku.

Saat itu sudah hampir maghrib, tapi kakiku melangkah ke arah halte. Mengambil tujuan akhir Harmoni dan menyambung sampai Juanda. Langit yang bersiap mengganti waktu, jalan yang mulai bersaut klakson, dan pedagang yang mulai merapikan tempatnya menjadi pemandangan yang rasanya seperti hari-hari biasanya kala itu. Sampai aku menapaki karpet merah yang terbentang dan menengadah mendapati kubah yang sangat besar. Wuah. Lagi-lagi, aku hanya menatap orang lain. Membiarkan kebisingan di kepalaku makin berisik dengan suara dzikir ibu-ibu dan suara teriakan riang anak-anak.

Waktu menunjukkan hampir pukul 9 malam, aku disuguhi penampakan sebuah lingkaran berisikan ibu-ibu yang membahas pentingnya menuntut ilmu. Ah... Ini adalah kebetulan terbaik. Sayup-sayup ku dengar suara mereka dan sedikit demi sedikit ku tatap wajahnya.

Rasanya, tidak ada yang bisa ku tulis setelah itu. Memandangi beraneka wajah orang lain tanpa kepentingan yang berarti selalu menjadi aliran yang menggelitik perutku. Bahwa setiap hari, pasti ada sesuatu yang bisa kita syukuri. Sekalipun itu harus kebisingan di kepalamu. Terkadang, tulisan sendiri bahkan tak mampu melukiskan isi hatimu.

Tetap saja, ikatlah ilmu di mana pun itu! Entah di tulisanmu, entah di ingatanmu. Baik dengan menulis maupun dengan mengamati. Karena belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja, pasti akan ada pembelajarannya.

Selamat mengarungi lautan kehidupan!
Dari atas Jembatan Penyeberangan Stasiun Juanda, langit menatapmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Kun Anta

Resensi Buku Bidadari Bermata Bening

Payung Pertemuan