Adakah yang Punya Jawaban?
Ada satu titik dimana rasa lelah ini mencuat.
Ada satu titik dimana rasa kesal ini memuncak.
Ada satu titik dimana rasa amarah ini ingin meluap.
Tapi, banyak titik yang menunjukkan bahwa aku harus lebih sabar dari biasanya.
Mungkin di situ hikmahnya.
Kata umi, di sanalah letak ujianku naik tingkat, yaitu tingkat keimanan.
Kadang, banyak rasa bahwa semua orang meninggalkanku. Ya, memang, pada akhirnya setiap orang akan berjalan sendiri-sendiri.
Sering, aku merasa terlalu ramai di kerumunan yang padahal hati berteriak sepi.
Tak ayal, kosong, hampa, tanpa isi, hatiku.
Tidak tahu apa yang kucari, apa yang harus kulakukan, apa yang dirasa cukup untuk kuperjuangkan. Bingung.
Terlalu sedih menghadapi semua ini sendiri, tapi tak mampu orang lain menemani.
Lantas, harus bagaimana?
Menjadi sendiri, jauh dari kata asyik, tapi dengan beramai-ramai bukan juga hal yang menyenangkan. Aku yang introvert, tertutup, tidak senang bila orang lain mencoba memahami – karena orang itu tidak akan pernah bisa memahami, selalu sepi. Tapi, letak kesepian itu bagaikan temanku selalu. Seakan yang harus selalu kujaga.
Menjadi ramai di depan orang lain, merupakan hal tersering yang kulakukan seumur hidupku. Baikkah hal itu? Yang mereka tahu, aku adalah periang, penuh semangat, selalu rela berkorban, huh. Memang sejatinya itu adalah hal yang diharapkan oleh setiap orang kepada orang lain, kan? Nyatanya, terlalu banyak orang bertopeng di dunia ini.
Menjadi orang yang seolah sedih, juga, merupakan hal kedua yang sering kulakukan. Beberapa menyadari, bahwa sejatinya diri ini dirundu kesedihan luar-biasa, tapi kebanyakan, menghiraukan. Apa yang ku harapkan sebenarnya, wahai diriku? – tanyaku selalu dalam hati. Tidak pernah ada jawaban dari hati pilu itu.
Lalu, apa yang harus kulakukan?
Komentar
Posting Komentar