Resensi Buku: Hujan
Payung yang identik dengan hujan menjadi objek yang terlihat memayungi kata “Hujan” dalam cover buku dengan judul besar Hujan. Cover berwarna biru muda ini begitu menarik karena payung yang menghalau kalimat-kalimat penyentil hati pecinta novel melodrama.
Jangan
pernah jatuh cinta saat hujan. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap
kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Bukan melupakan
yang jadi masalahnya, melainkan penerimaan. Barang siapa bisa menerima, dia
akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika tidak bisa menerima, dia tidak
akan pernah bisa melupakan.
Jatuh
cinta adalah perasaan cinta itu sendiri. Pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu
yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh
pujangga, tidak bisa dijelaskan mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik
dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati
setelahnya? Kecewa? Marah? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa
indahnya jatuh cinta. Bukan melupakan yang jadi masalahnya, melainkan
penerimaan. Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu.
Cerita ini berlatar di ruangan 4 x 4 meter persegi yang ditempati oleh Lail, seorang perempuan usia 21 tahun, bersama Dokter Elijah di Pusat Terapi Saraf. Lail duduk di sofa hijau dengan bando besi menempel di kepalanya akan memetakan saraf-saraf ingatan dari otaknya. Berbagai warna ditampilkan oleh mesin pemeta saraf tersebut untuk menandakan status cerita yang dialami Lail –apakah senang yang berwarna biru, atau marah yang berwarna merah.
Kisah
ini bermula dari bencana gempa bumi vulkanik dengan kekuatan 10 skala Ritcher
yang terjadi di tahun 2042. Lail yang saat itu masih berusia 13 tahun sedang berada
di kereta bawah tanah yang akan mengantarnya ke sekolah baru berujung naas. Ia
justru kehilangan ibunya dan hanya bersama Esok, seorang anak laki-laki berusia
15 tahun yang kehilangan keempat kakak laki-lakinya –terjebak dalam kapsul
kereta bawah tanah.
Kisah
ini menyajikan dahsyatnya kekuatan alam yang tidak bisa dihindari oleh manusia,
bahkan dengan teknologi secanggih apapun. Kota dengan bangunan megah, mal
dengan air mancur terindah, termasuk rumah pemukiman hancur rata sejajar tanah.
Lail dan Esok yang masih berusia dini dituntut untuk segera memulihkan diri. Membantu
petugas pengungsian, ibu-ibu di dapur umum, termasuk menghemat air saat bencana
terjadi. Tetapi, Esok memiliki kemampuan lebih, ia lah orang dibalik 200 mesin pompa
air paralel, pembawa berita antartempat pengungsian, sekaligus menjadi satu-satunya
penjaga Lail. Dengan kelebihannya, Wali Kota mengangkat Esok untuk bersekolah
setinggi-tingginya di Ibu Kota dan menjadi anak angkatnya.
Waktu
beriring cepat di buku ini, pertemuan antara Lail dan Esok menjadi cerita utama
yang diangkat. Lail bertumbuh menjadi anak yang kuat bersama kawan berisiknya,
Maryam, sebagai relawan karena keinginan membantunya yang semakin hari semakin
besar. Sampai pada puncaknya, ada rahasia dibalik kehidupan kampus Esok. Bumi diprediksi
akan mengalami cuaca esktrim sampai waktu yang tidak ditentukan. Esok menjadi
bagian dari pembangunan kapal ruang angkasa yang akan menampung penduduk bumi. Sebanyak
10.000 tiket akan diberikan secara acak agar mampu memilih manusia dengan
keberagaman gen yang tinggi –untuk menghindari kepunahan manusia.
Tiga
hari sebelum keberangkatan, Esok yang memiliki 2 tiket ternyata tak kunjung
menghubungi Lail. Lail khawatir ia akan ditinggalkan oleh Esok, sementara Wali
Kota sudah berpesan agar membujuk Esok untuk memberikan tiket kepada Claudia, putri
semata wayangnya. Maka, saat jadwal kapal lepas landas tiba, Lail berlari
menuju Pusat Terapi Saraf, ingin melupakan Esok.
Sudut
pandang orang ketiga yang dibawakan pada buku ini akan membius pembaca untuk
terus melanjutkan bacaannya, tidak ingin berhenti sampai ceritanya habis. Selain
itu, buku ini juga menggambarkan berbagai kemungkinan teknologi yang dapat ditemukan
di masa depan nanti. Seperti mobil terbang, mobil tanpa supir, integrasi sistem
transportasi umum yang dapat mengenali suara, pengelola hotel berupa robot yang
mampu menunjukkan pilihan kamar, sampai kapal luar angkasa penampung manusia untuk
hidup.
Sayangnya, cerita penyejuk di dalam buku ini banyak dilewatkan dan hanya berfokus pada pertemuan Lail dan Esok. Seolah cerita penyejuk tersebut segera diselesaikan agar bagian Lail dan Esok dengan cepat muncul kembali. Meski demikian, tidak lantas membuat setiap pertemuan Lail dan Esok menjadi membosankan. Justru sebaliknya, penuh dengan kelapangan yang mampu membuat Lail menunggu Esok, walau lebih lama lagi.
Komentar
Posting Komentar