Resensi Buku: Bumi Cinta
Objek Katedral Santo Basil
yang merupakan salah satu ciri khas Rusia pada cover buku menjadi
penjelasan bahwa latar tempat pada novel ini didominasi di Rusia, negara ex-komunis
terbesar di dunia. Buku yang merupakan adikarya novelis nomor satu di Indonesia
dari sastrawan peraih penghargaan Sastra Nusantara Tingkat Asia Tenggara ini
menyabet gelar Top-Mega Bestseller. Adalah Habiburrahman El Shirazy sang
penulis Bumi Cinta dengan 6 halaman pembuka dan 546 halaman inti.
Bumi
Cinta yang saya baca merupakan cetakan pertama yang terbit pada Februari 2012
oleh Penerbit Ihwah Publishing House. Buku ini mendapat sorotan dari Dr.
Syamsuddin Arif, MA., dosen Pemikiran Islam International Islamic University
Malaysia, dan Pimpinan Umum Al Tayamun Saudi Arabia, Muhammad Hanin Arqom.
Selain Katedral Santo Basil Rusia, cover buku ini mengikutsertakann
salju di sekeliling halamannya yang akan membuat pembaca menerka dominasi latar
waktu dari cerita ini. Meskipun tergolong cukup tebal ketika dipegang, setiap
halamannya menyajikan kisah dengan aroma buku yang khas sehingga tetap terasa
nikmat untuk disentuh dan dibaca.
Buku ini mengisahkan perjalanan Muhammad Ayyas dalam menempuh masa studinya di Moskwa, Rusia. Kota yang penuh dengan pergaulan bebas tersebut menghadirkan berbagai jenis ujian ‘wanita’ yang menghampiri santri laki-laki ini. Ujian pertamanya dimulai dari apartemen yang akan ditinggalinya. Devid, merupakan teman Ayyas, yang mengenalkan apartemen dengan harga murah dan fasilitas cukup baik itulah yang membuka pintu ujian pertama Ayyas. Dua orang perempuan inilah, Yelena dan Linor, yang merupakan tetangga kamar pertama sekaligus menjadi ujian pertama Ayyas di Moskwa.
Yelena dengan pekerjaan menjual dirinya dan tak mengenal Tuhan sama sekali hampir berakhir tragis di ujung jalan gelap saat suhu benar-benar mencapai titik terendahnya Moskwa. Tak jauh berbeda, Linor yang bekerja sebagai intel Yahudi berkedok reporter pun memiliki berbagai rencana, fitnah kejam, terhadap Muslim menjadi penyegar penuh ketegangan yang dihadirkan di buku ini. Berbagai adegan tidak pantas kerap terjadi di ruang tamu apartemen yang ditinggali Ayyas bersama kedua perempuan itu. Tak jarang, Ayyas memergoki teman laki-laki Yelena dan Linor yang tiap kunjungannya selalu menaikkan pitam Ayyas.
Kehidupan sehari-hari Ayyas di buku ini tidak lebih dari pergi ke kampus menemui Professor Abramov Tomskii yang merupakan pembimbingnya dan asisten pakar sejarahnya yang jelita, Doktor Anastasia Palazzo, untuk menyelesaikan penelitiannya. Namun, kota tempat belajarnya itulah yang menjadi titik pengujian iman Ayyas. Ujian berikutnya datang dari pakar sejarah cantik yang sering terbius akan penjelasan Ayyas, yakni Doktor Anastasia Palazzo. Di berbagai kesempatan, Doktor Anastasia selalu mencoba untuk bertemu dengan Ayyas, menghabiskan waktu untuk bertukar pikiran tentang Tuhan, dan bahkan sekedar menemani doktor dengan agama nasrani tulen ini mendengarkan kisah tak terduganya.
Puncak
cerita ini berada pada rencana jahat Ben Solomon –salah seorang Yahudi yang
juga pemimpin mafia Rusia– memanfaatkan anak buahnya, Linor, yang akan melakukan
pengeboman di Metropole Hotel, salah satu hotel terbesar di Rusia. Sasaran
pelakunya tidak lain adalah Ayyas, yang akan membuat mata dunia teralihkan pada
kejamnya Muslim dalam membantai umat manusia. Beberapa bahan peledak bom sudah
disiapkan Linor dalam tas di bawah kasur milik Ayyas dan juga sudah dimasukkan
buku milik Ayyas. Saat bom diledakkan, akan ada seseorang yang terlihat mirip
Ayyas, sehingga polisi dapat segera melacak Ayyas. Beberapa hari sebelum Linor
dengan rencana sempurnanya dieksekusi, ia memutuskan pergi ke Kota Kiev untuk
menemui ibunya –Madam Ekaterina. Sayangnya, pertemuan Linor dengan ibunya kali
itu benar-benar berbeda.
Pertemuan
Linor dengan Madam Ekaterina kemudian mengantarkan Linor kembali menuju Rusia
untuk menemui Ayyas. Berbalut gamis dan jilbab panjang berwarna biru, Linor
keluar dari apartemen baru Ayyas sambil bersenandung membayangkan jawaban Ayyas
atas keinginannya untuk dilamar. Ayyas yang mengajukan permintaan untuk
memberinya waktu berpikir justru tak bisa berhenti memikirkan Linor dan membuatnya memutuskan
untuk langsung menemuinya. Namun, takdir berkata lain.
Buku dengan sudut pandang orang ketiga ini membawa pembaca bisa mengelilingi seluk-beluk kota di Rusia, juga mengenalkan masyarakatnya yang memiliki pemikiran terbuka. Berbagai cuaca dingin dijelaskan dengan begitu detil sehingga pembaca bisa turut hanyut dingin dan hangat di dalamnya. Namun, peralihan alur di cerita ini tergolong cukup lama, sehingga membuat pembaca perlu banyak bersabar akan kejutan dari alur berikutnya. Di lain sisi, karena buku yang saya baca masih terbitan pertama, kertas dari buku ini tergolong cukup tipis.
Komentar
Posting Komentar