Meja Tengah Malam
Hari itu menjadi saksi bahwa ialah pemegang hari terakhir, bukan hari akhir. Abang angkot yang datang setelah 15 menit kami nongkrong di depan Indomaret turut berperan dalam persaksian hari itu. Kelabunya awan yang saat itu menakut-nakuti kami karena tidak bawa payung juga menyaksikan kami.
Bapak penjual sate, abang penjual kentang dan cimol, abang penjual es kelapa, dan beberapa abang-mpok lain yang berlalu lalang, turut jadi saksi kami. Untung saja, tidak dengan kehadiran abang tukang parkir Indomaret. Kebayang kalau kami ditatapi dengan mata penasaran karena kami tidak kunjung meninggalkan wilayah kekuasaannya --halaman parkir Indomaret. Orang-orang itu menjadi saksi bahwa kami meninggalkan Jalan Otista III pukul 8 malam lewat menuju suatu tempat.
Setelah perjalanan tak sampai 10 menit, gang besar menyambut kami dengan kegelapannya. Lampu depan gangnya tidak habis pikir bahwa ternyata penerangannya hanya cukup menerangi orang yang berada di bawah lampu itu. Terlebih bagi yang melewatinya, tidak habis pikir mengapa lampunya tidak cukup menerangi jalan dengan lebih luas.
Sebuah pos satpam kosong hadir dalam kesunyian gang itu. Seolah sesuatu di dalamnya sedang mengabsen siapa-siapa saja yang baru masuk dan siapa-siapa saja yang baru keluar. Tak jauh dari sana, sebuah warung kaki lima menengah yang baru-baru ini menapaki jalan itu terlihat. Dengan lampu yang cukup menerangi jalan. Bila melihat sedikit jauh lebih ke kanan, maka sampailah kami di tempat remang-remang favorit anak-anak kampusku.
Tapi, ada yang berbeda. Kerumunan anak-anak dengan buku-buku yang sama covernya, laptop-laptop yang terlampau menyinari wajah-wajah di hadapannya, orang-orang tak dikenal dengan sesuatu yang melintir di tangannya dan korek gas tak jauh darinya tidak ditemukan. Hanya ada 3 lingkaran kecil termasuk lingkaran kami. Riuh musik yang biasanya bergemuruh di dinding tak juga terdengar. Bisingnya kumpulan suara di udara juga tak begitu nampak di telinga. Aneh, pikirku.
Tak lama seseorang menghampiri kami. Dengan gaya ala mahasiswa kampusku sebagaimana banyaknya, -termasuk gaya kami- berjaket, menggunakan tas ransel, sandal main yang mudah dilepas, dan pemberat tas alias sang laptop beserta jajarannya.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Tidak ada apa-apa. Tujuan kami yang jelas maksudnya, nyatanya payah sekali kami dalam mengeksekusinya. Kami berada di ruang jiwa yang berbeda-beda. Mereka -temanku yang berangkat bersamaku dan temanku yang baru datang saat sudah sampai di tempat- berhadapan satu sama lain dengan pikiran-pikiran yang lain. Tentu saja karena aku juga bersama temanku yang tiba-tiba menghampiriku dan mengambil waktuku cukup banyak untuk menginterupsiku bersama temanku sebelumnya.
Jam dinding sudah berdecit dan memelototiku karena terlalu lama teralihkan, tapi laptop di depan temanku -yang baru datang saat sampai di tempat- itu tak kunjung lepas dari tatapannya.
Bum!
Jam dinding itu tepat menandakan pukul 12 tengah malam, meneriaki batinku untuk segera membubarkan lingkaran kami. Kemudian kami bergegas dan buru-buru mengusir jiwa-jiwa yang tadi mengajak kami untuk asyik di dunia masing-masing.
Jalan malam itu akhirnya jadi pemandangan terakhir kami yang menandakan kami berada di ruang dan waktu yang sama. Tak ada bahasan utama, tak ada tawa lepas perkara kehidupan rumit kami di tingkat sebelumnya, tak ada potret pertemuan terakhirnya.
Tapi tidak dengan meja itu. Ia mendengar semua yang kami katakan. Ia menjadi saksi atas lihainya kami dalam menangani kecanggungan dengan rasa canggung yang tidak terasa.
Bapak penjual sate, abang penjual kentang dan cimol, abang penjual es kelapa, dan beberapa abang-mpok lain yang berlalu lalang, turut jadi saksi kami. Untung saja, tidak dengan kehadiran abang tukang parkir Indomaret. Kebayang kalau kami ditatapi dengan mata penasaran karena kami tidak kunjung meninggalkan wilayah kekuasaannya --halaman parkir Indomaret. Orang-orang itu menjadi saksi bahwa kami meninggalkan Jalan Otista III pukul 8 malam lewat menuju suatu tempat.
Setelah perjalanan tak sampai 10 menit, gang besar menyambut kami dengan kegelapannya. Lampu depan gangnya tidak habis pikir bahwa ternyata penerangannya hanya cukup menerangi orang yang berada di bawah lampu itu. Terlebih bagi yang melewatinya, tidak habis pikir mengapa lampunya tidak cukup menerangi jalan dengan lebih luas.
Sebuah pos satpam kosong hadir dalam kesunyian gang itu. Seolah sesuatu di dalamnya sedang mengabsen siapa-siapa saja yang baru masuk dan siapa-siapa saja yang baru keluar. Tak jauh dari sana, sebuah warung kaki lima menengah yang baru-baru ini menapaki jalan itu terlihat. Dengan lampu yang cukup menerangi jalan. Bila melihat sedikit jauh lebih ke kanan, maka sampailah kami di tempat remang-remang favorit anak-anak kampusku.
Tapi, ada yang berbeda. Kerumunan anak-anak dengan buku-buku yang sama covernya, laptop-laptop yang terlampau menyinari wajah-wajah di hadapannya, orang-orang tak dikenal dengan sesuatu yang melintir di tangannya dan korek gas tak jauh darinya tidak ditemukan. Hanya ada 3 lingkaran kecil termasuk lingkaran kami. Riuh musik yang biasanya bergemuruh di dinding tak juga terdengar. Bisingnya kumpulan suara di udara juga tak begitu nampak di telinga. Aneh, pikirku.
Tak lama seseorang menghampiri kami. Dengan gaya ala mahasiswa kampusku sebagaimana banyaknya, -termasuk gaya kami- berjaket, menggunakan tas ransel, sandal main yang mudah dilepas, dan pemberat tas alias sang laptop beserta jajarannya.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Tidak ada apa-apa. Tujuan kami yang jelas maksudnya, nyatanya payah sekali kami dalam mengeksekusinya. Kami berada di ruang jiwa yang berbeda-beda. Mereka -temanku yang berangkat bersamaku dan temanku yang baru datang saat sudah sampai di tempat- berhadapan satu sama lain dengan pikiran-pikiran yang lain. Tentu saja karena aku juga bersama temanku yang tiba-tiba menghampiriku dan mengambil waktuku cukup banyak untuk menginterupsiku bersama temanku sebelumnya.
Jam dinding sudah berdecit dan memelototiku karena terlalu lama teralihkan, tapi laptop di depan temanku -yang baru datang saat sampai di tempat- itu tak kunjung lepas dari tatapannya.
Bum!
Jam dinding itu tepat menandakan pukul 12 tengah malam, meneriaki batinku untuk segera membubarkan lingkaran kami. Kemudian kami bergegas dan buru-buru mengusir jiwa-jiwa yang tadi mengajak kami untuk asyik di dunia masing-masing.
Jalan malam itu akhirnya jadi pemandangan terakhir kami yang menandakan kami berada di ruang dan waktu yang sama. Tak ada bahasan utama, tak ada tawa lepas perkara kehidupan rumit kami di tingkat sebelumnya, tak ada potret pertemuan terakhirnya.
Tapi tidak dengan meja itu. Ia mendengar semua yang kami katakan. Ia menjadi saksi atas lihainya kami dalam menangani kecanggungan dengan rasa canggung yang tidak terasa.
Komentar
Posting Komentar