Derap Lampu Berdetak
Tadi pagi teringat sebuah judul yang ingin saya tuliskan.
Sesuatu yang sering dicemooh tanpa sadar oleh orang lain, termasuk saya pada waktu-waktu
tertentu, tentang perasaan. Mengalami hal yang dilematis dalam pikiran, tidak sekali
dua kali menghampiri cara bekerjanya otak saya, melainkan memang selalu demikian, silih
berganti dengan siapa pun lawan bicara.
Mengungkapkan sebagian kecil pendapat -atau perasaan jenis
apa pun- bukan tidak main pilah-pilih objeknya. Suatu kali, saya benar-benar
menyembunyikannya, saya dituduh penipu, tidak orisinil, payah dalam mengungkapkannya, bahkan berwajah dua. Eits, tenang, ini bukan suatu kondisi yang tidak saya perhitungkan kejadiannya, melainkan sudah yang saya rasa paling pas menurut saya. Di lain waktu, saya mengungkapkannya terang-terangan bagai benderang perang, kemudian saya ditatap banyak mata pisau dan umpatan bernada jelas umpatan kepada saya. Saya… harus
bagaimana?
Menjadi pribadi yang sering kali senantiasa memikirkan
berbagai kemungkinan yang ada sebelum bertindak sungguh memusingkan. Bagaimana bila
tidak dipikirkan sebelumnya? Oh tentu menjadi brutal lah pikiran saya
setelahnya.
Kenapa dibuat rumit? Kata kebanyakan orang.
Karena saya tidak ingin melukai siapa pun. Tidak apa walau harus
diri saya yang menahannya, tapi tidak dengan orang lain yang bisa jadi akan
berimbas kepada diri saya sendiri. Siapa tahu?
Tentu, perkara kita seharusnya tidak mudah tersinggung atas
perkataan orang lain bukanlah masalah yang seharusnya kita tanggung. Tapi, hei,
begitukah cara hati kalian bekerja? Karena caraku tidaklah demikian. Tidak ingin
menyakiti dengan harapan tidak disakiti –kepada dan oleh siapapun.
Mungkin, tipe pengamat memang yang paling cocok untuk situasi
apapun bagiku. Tidak bisa menyelami kolam cerita orang lain dan tidak ada yang ingin
berenang di kolam cerita saya –saking tenang riaknya. Tentunya selain kamu yang
lagi baca ini, hehe.
Alangkah kurang bijaknya bila melakukan generalisasi untuk
semua jenis orang, kan?
Kabar baiknya, benar-benar baik. Beberapa orang di hidup
saya, sampai saat ini, benar-benar mampu menghasilkan reaksi paling alami saya
dari apa pun yang dia reaksikan terhadap saya. Entah semarah apa pun, entah
sesedih apa pun. Saya dengan semua ekspektasi saya pada orang lain, akhirnya
bertemu di satu titik realita, membiarkan saya mengalah dengan semua apa pun perasaan
saya, kecuali teman bangku beberapa hari saya di kelas XII MIA 2.
Sosok dengan pandangan yang selalu lebih manusiawi buat
saya. Semoga kamu makin lembut hatinya, Af.
Foto diambil pada 25 Agustus 2015 di Lapangan SMAN 2 Kuningan untuk buku tahunan siswa.
Bukan saya tidak memiliki jati diri, tetapi menyesuaikan cara dalam bersikap memang cara terbaik, bukan? Feel pleasure if you wanna share your thoughts. About how this page goes very wrongly.
Komentar
Posting Komentar