Sepatu yang Hilang
Kala sore itu, saya baru saja sampai ke rumah. Masih dengan seragam lengkap dengan atribut serta sepatu hitam kesukaan saya yang pertama kali dibeli dan menyisakan ia yang hanya satu-satunya dimiliki oleh sepasang kaki saya. Peluh di pipi yang menempel pada pinggir jilbab area wajah saya menjadi saksi bahwa menaiki KRL di jam pulang kerja sangatlah sebuah usaha yang fantastis.
Kendaraan favorit teman jalan-jalan saya itu memang tidak terkalahkan sebenarnya. Ia menjadi yang paling mudah digapai sebagai alat transportasi umum. Terlebih harga tiket yang ditawarkan adalah yang terbaik bila jeli dan ingin rebutan tempat duduk, hehe. Namun, tanpa dapat tempat duduk pun tidak membuat pamornya kalah. Meski lain cerita bila harus berdiri dari Stasiun Tebet sampai Stasiun Bogor.
Sesaat saya mengetuk pintu rumah, dengan sepatu yang saya lepas hati-hati seperti biasanya, ibu saya menyambut saya dengan pelukan. Hangat. Satu-satunya kontak fisik yang hangatnya bisa menembus jiwa. Ah, betapa nikmatnya. Kemudian disusul pertanyaan-alias-pernyataan yang sama hampir tiap kali saya pulang, "Kak, kamu kok kurus banget sih?!"
Ah... Ibu, ini menandakan bahwa saya punya bentuk badan idaman banyak perempuan lho. Sayangnya, lontaran balasanku malah berimbas pada kalimat-kalimat krusial lain yang dilemparkan oleh ibu, sehingga menyudahinya adalah pilihan terbaik. Ya, terlepas dari berat badan saya memang tidak pernah lebih dari 43 kg dan tidak pernah kurang dari 40 kg selama 3 tahun terakhir. Entahlah. Maka, sore itu diakhiri dengan saya mengejar meja makan, membuka pintu kulkas, dan beranjak ke kamar mandi melakukan ritual bebersih sore.
Tak lama, saya beranjak ke ruang tamu kembali. Bersiap untuk bercengkrama dengan berbagai jenis lontaran sok-asik saya di hadapan ayah dan ibu. Ibu muncul dari kamarnya dan memulai percakapan, "Kak, itu sepatu kakak di luar yang hitam?" Tentu saja lantas ku jawab dengan anggukan sekaligus tatapan penuh tanya. Memang tidak jarang ibu sangat sering memperhatikan barang-barang yang saya pakai, dan pasti akan berakhir dengan tatapan iba, hahahaha.
"Ya Allah Kak, itu kakak kalau ke kampus pakai sepatu itu?" Pertegas ibu dengan raut tidak percayanya.
"Ya, iya. Itu lho yang waktu itu beli di Ciledug." Jawabku dengan nada yang memaksa ibu untuk mengingat-ingat kembali uang yang diberikan ke anaknya kala itu tuk beli sepatu.
"Gak ada sepatu lagi kakak?" Tanyanya masih tidak percaya.
"Iya, umi sayang. Kenapa? Mau belikan kakak sepatu lagi?" Ledekku dengan tatapan mau meminta tapi tidak enak, tapi ya telanjur meminta. Mungkin ini waktu yang tepat.
"Yaudah, besok beli sepatu pergi sama abi sana. Abi kalau beli sepatu di sana terus. Bagus-bagus." Ucapnya dengan tatapan yang lebih iba lagi dari sebelumnya.
"Iya kak, besok jam 9 udah buka tokonya. Tokonya merek lokal, bagus kak, abi suka." Kata ayah yang tiba-tiba prihatin melihat kondisi sepatu anak perempuan sulungnya ini.
Saya memang tipe perawat barang dengan apik. Saya hampir tidak pernah kehilangan barang apapun yang bertanda milik saya, terlepas dari memang barangnya sedikit sih, hehe. Tapi perihal mengingat lokasi barang yang saya pernah pegang, saya jamin dengan tingkat kepercayaan 95 persen saya akan ingat pergerakan barang itu. Saking baiknya dalam merawat, tidak jarang pikiran-pikiran ah-ini-masih-bagus, masih-bisa-dipakai-kok, dan pikiran-pikiran sejenis yang membuat menunda untuk membeli barang yang sama dengan dalih baru sangat jarang terlintas. Alhasil, tidak menyadari bahwa kategori-kategori "masih bagus" dan "masih bisa dipakai" itu sudah melewati batas yang sebenarnya. Alias, sudah tidak layak pakai. Wkwk. Sungguh.
Maka keesokan harinya, tepat setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan saya sudah hampir selesai bersiap-siap. Tak lama, saya dan ayah saya pun meluncur dan sampai dalam waktu sekitar 30 menit. Toko yang kami kunjungi berada tak jauh sebelum Pasar Kebayoran. Toko khusus alas kaki ini cukup luas dengan aroma ruangan berwangi kulit lokal dan dipenuhi tumpukan kotak sepatu yang cukup tinggi. Bahkan lemari-lemari sepatunya melebihi tinggi ayah saya yang tergolong sangat tinggi untuk ukuran bapak-bapak. Tak butuh waktu lama, saya sudah menemukan sepatu yang sebenarnya saya sukai. Dengan syarat dan ketentuan yang sudah sesuai aturan kampus, saya mencoba menghabiskan waktu sedikit lebih lama dengan menanyakan ukuran yang lebih besar. Ah lah, basa-basi sekali. Dan untungnya tidak ada ukuran tersebut. Bisa dibayangkan betapa kesalnya Sang Abang bila ternyata ukuran yang saya ambil ternyata yang awal sudah tertera.
Dengan membawa satu kantung besar hanya berisi sepatu saya, kami pun kembali pulang.
Dengan rasa senang karena mendapatkan sepatu baru, saya pun berterima kasih kepada ayah dan ibu. Payah sekali ya, harus senang dulu baru berterima kasih. Sepatu yang niat awalnya dibeli karena memang dibutuhkan, juga karena sebagai bagian dari persiapan untuk penampilan sidang, rupanya kandas di tengah jalan.
Perjalanan tingkat 4 saya ternyata hanya setengah jalan dilakukan di kampus. Proses-proses sakral tingkat 4 saya berakhir tidak seperti yang dilakukan kakak-kakak tingkat sebelumnya. Mulai dari bimbingan skripsi yang baru menginjak kali keenam dari 10 kali bimbingan, sudah harus dilakukan secara jarak jauh. Bahkan perkuliahan yang seharusnya teman-teman kelompok atas saya presentasi menjadi ditiadakan dan diganti dengan hanya mengumpulkan critical review secara tertulis. Serta bagian-bagian sakral seperti seminar dan sidang yang dilakukan tanpa tatap muka secara langsung.
Sehingga, sepatu baru istimewa itu tidak banyak lama menapaki lantai-lantai lingkungan kampus. Tapi, tidak apa. Keistimewaannya akan selalu terasa di hati, walau ia tak pernah menyaksikan pemiliknya dihujani 'ucapan' dosen penguji, hehe.
Maka hari-hari biasa ku di rumah kali ini dijemput kembali dengan rasa istimewa lainnya: menjemput sepatu dan teman-temannya dari kosan. Iya, kosan yang di Otista itu. Tepat di hari ketiga lebaran, saat pandemi masih berkeliaran, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih diberlakukan, saya dan ayah saya menjemput beberapa barang di kosan. Luar biasa, rasanya. Mendapati diri ini melihat berbagai bangunan yang sudah lama tak dilihat. Yah, meski sebenarnya tidak jauh berbeda.
Singkat cerita, sepatu saya pun kembali mendarat di rumah bersama pakaian-pakaian saya yang lain. Untungnya sebagian pakaian saya bersama koper sudah pernah saya pulangkan. Tidak terbayang bila ia masih bertengger di kosan.
Begitulah saya, manusia, mentang-mentang ia sudah mendarat di rumah, saya biarkan begitu saja. Maka tepat sebulan setelah dari kosan, saya baru menyadari, dimana sepatu aku ya?
Sekitar 2 hari mau sidang skripsi, saya malah disibukkan dengan membongkar setengah-setengah barang saya. Iya, tidak sepenuhnya dibongkar karena akan terlalu banyak barang berserakan. Nihil. Tidak ada hasil. Ujung batang sepatunya tidak ditemukan. Ia yang dibungkus dalam plastik swalayan terdekat dari rumah tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
Ya Allah...
Sepatu yang masih bisa dipakai 1-2 tahun lagi.
Sepatu yang bagus kulitnya walau beberapa kali dipakai lari dari becekan jalan.
Sepatu yang... disiapkan untuk sidang, yah walaupun tidak jadi sidang pakai sepatu.
Dia hilang. Di rumah saya.
Kendaraan favorit teman jalan-jalan saya itu memang tidak terkalahkan sebenarnya. Ia menjadi yang paling mudah digapai sebagai alat transportasi umum. Terlebih harga tiket yang ditawarkan adalah yang terbaik bila jeli dan ingin rebutan tempat duduk, hehe. Namun, tanpa dapat tempat duduk pun tidak membuat pamornya kalah. Meski lain cerita bila harus berdiri dari Stasiun Tebet sampai Stasiun Bogor.
Sesaat saya mengetuk pintu rumah, dengan sepatu yang saya lepas hati-hati seperti biasanya, ibu saya menyambut saya dengan pelukan. Hangat. Satu-satunya kontak fisik yang hangatnya bisa menembus jiwa. Ah, betapa nikmatnya. Kemudian disusul pertanyaan-alias-pernyataan yang sama hampir tiap kali saya pulang, "Kak, kamu kok kurus banget sih?!"
Ah... Ibu, ini menandakan bahwa saya punya bentuk badan idaman banyak perempuan lho. Sayangnya, lontaran balasanku malah berimbas pada kalimat-kalimat krusial lain yang dilemparkan oleh ibu, sehingga menyudahinya adalah pilihan terbaik. Ya, terlepas dari berat badan saya memang tidak pernah lebih dari 43 kg dan tidak pernah kurang dari 40 kg selama 3 tahun terakhir. Entahlah. Maka, sore itu diakhiri dengan saya mengejar meja makan, membuka pintu kulkas, dan beranjak ke kamar mandi melakukan ritual bebersih sore.
Tak lama, saya beranjak ke ruang tamu kembali. Bersiap untuk bercengkrama dengan berbagai jenis lontaran sok-asik saya di hadapan ayah dan ibu. Ibu muncul dari kamarnya dan memulai percakapan, "Kak, itu sepatu kakak di luar yang hitam?" Tentu saja lantas ku jawab dengan anggukan sekaligus tatapan penuh tanya. Memang tidak jarang ibu sangat sering memperhatikan barang-barang yang saya pakai, dan pasti akan berakhir dengan tatapan iba, hahahaha.
"Ya Allah Kak, itu kakak kalau ke kampus pakai sepatu itu?" Pertegas ibu dengan raut tidak percayanya.
"Ya, iya. Itu lho yang waktu itu beli di Ciledug." Jawabku dengan nada yang memaksa ibu untuk mengingat-ingat kembali uang yang diberikan ke anaknya kala itu tuk beli sepatu.
"Gak ada sepatu lagi kakak?" Tanyanya masih tidak percaya.
"Iya, umi sayang. Kenapa? Mau belikan kakak sepatu lagi?" Ledekku dengan tatapan mau meminta tapi tidak enak, tapi ya telanjur meminta. Mungkin ini waktu yang tepat.
"Yaudah, besok beli sepatu pergi sama abi sana. Abi kalau beli sepatu di sana terus. Bagus-bagus." Ucapnya dengan tatapan yang lebih iba lagi dari sebelumnya.
"Iya kak, besok jam 9 udah buka tokonya. Tokonya merek lokal, bagus kak, abi suka." Kata ayah yang tiba-tiba prihatin melihat kondisi sepatu anak perempuan sulungnya ini.
Saya memang tipe perawat barang dengan apik. Saya hampir tidak pernah kehilangan barang apapun yang bertanda milik saya, terlepas dari memang barangnya sedikit sih, hehe. Tapi perihal mengingat lokasi barang yang saya pernah pegang, saya jamin dengan tingkat kepercayaan 95 persen saya akan ingat pergerakan barang itu. Saking baiknya dalam merawat, tidak jarang pikiran-pikiran ah-ini-masih-bagus, masih-bisa-dipakai-kok, dan pikiran-pikiran sejenis yang membuat menunda untuk membeli barang yang sama dengan dalih baru sangat jarang terlintas. Alhasil, tidak menyadari bahwa kategori-kategori "masih bagus" dan "masih bisa dipakai" itu sudah melewati batas yang sebenarnya. Alias, sudah tidak layak pakai. Wkwk. Sungguh.
Maka keesokan harinya, tepat setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan saya sudah hampir selesai bersiap-siap. Tak lama, saya dan ayah saya pun meluncur dan sampai dalam waktu sekitar 30 menit. Toko yang kami kunjungi berada tak jauh sebelum Pasar Kebayoran. Toko khusus alas kaki ini cukup luas dengan aroma ruangan berwangi kulit lokal dan dipenuhi tumpukan kotak sepatu yang cukup tinggi. Bahkan lemari-lemari sepatunya melebihi tinggi ayah saya yang tergolong sangat tinggi untuk ukuran bapak-bapak. Tak butuh waktu lama, saya sudah menemukan sepatu yang sebenarnya saya sukai. Dengan syarat dan ketentuan yang sudah sesuai aturan kampus, saya mencoba menghabiskan waktu sedikit lebih lama dengan menanyakan ukuran yang lebih besar. Ah lah, basa-basi sekali. Dan untungnya tidak ada ukuran tersebut. Bisa dibayangkan betapa kesalnya Sang Abang bila ternyata ukuran yang saya ambil ternyata yang awal sudah tertera.
Dengan membawa satu kantung besar hanya berisi sepatu saya, kami pun kembali pulang.
Dengan rasa senang karena mendapatkan sepatu baru, saya pun berterima kasih kepada ayah dan ibu. Payah sekali ya, harus senang dulu baru berterima kasih. Sepatu yang niat awalnya dibeli karena memang dibutuhkan, juga karena sebagai bagian dari persiapan untuk penampilan sidang, rupanya kandas di tengah jalan.
Perjalanan tingkat 4 saya ternyata hanya setengah jalan dilakukan di kampus. Proses-proses sakral tingkat 4 saya berakhir tidak seperti yang dilakukan kakak-kakak tingkat sebelumnya. Mulai dari bimbingan skripsi yang baru menginjak kali keenam dari 10 kali bimbingan, sudah harus dilakukan secara jarak jauh. Bahkan perkuliahan yang seharusnya teman-teman kelompok atas saya presentasi menjadi ditiadakan dan diganti dengan hanya mengumpulkan critical review secara tertulis. Serta bagian-bagian sakral seperti seminar dan sidang yang dilakukan tanpa tatap muka secara langsung.
Sehingga, sepatu baru istimewa itu tidak banyak lama menapaki lantai-lantai lingkungan kampus. Tapi, tidak apa. Keistimewaannya akan selalu terasa di hati, walau ia tak pernah menyaksikan pemiliknya dihujani 'ucapan' dosen penguji, hehe.
Maka hari-hari biasa ku di rumah kali ini dijemput kembali dengan rasa istimewa lainnya: menjemput sepatu dan teman-temannya dari kosan. Iya, kosan yang di Otista itu. Tepat di hari ketiga lebaran, saat pandemi masih berkeliaran, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih diberlakukan, saya dan ayah saya menjemput beberapa barang di kosan. Luar biasa, rasanya. Mendapati diri ini melihat berbagai bangunan yang sudah lama tak dilihat. Yah, meski sebenarnya tidak jauh berbeda.
Singkat cerita, sepatu saya pun kembali mendarat di rumah bersama pakaian-pakaian saya yang lain. Untungnya sebagian pakaian saya bersama koper sudah pernah saya pulangkan. Tidak terbayang bila ia masih bertengger di kosan.
Begitulah saya, manusia, mentang-mentang ia sudah mendarat di rumah, saya biarkan begitu saja. Maka tepat sebulan setelah dari kosan, saya baru menyadari, dimana sepatu aku ya?
Sekitar 2 hari mau sidang skripsi, saya malah disibukkan dengan membongkar setengah-setengah barang saya. Iya, tidak sepenuhnya dibongkar karena akan terlalu banyak barang berserakan. Nihil. Tidak ada hasil. Ujung batang sepatunya tidak ditemukan. Ia yang dibungkus dalam plastik swalayan terdekat dari rumah tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
Ya Allah...
Sepatu yang masih bisa dipakai 1-2 tahun lagi.
Sepatu yang bagus kulitnya walau beberapa kali dipakai lari dari becekan jalan.
Sepatu yang... disiapkan untuk sidang, yah walaupun tidak jadi sidang pakai sepatu.
Dia hilang. Di rumah saya.
Sepatu lama, dipotret pada 9 Juli 2019 (kiri) dan sepatu baru, dipotret pada 25 Februari 2020 (kanan).
Komentar
Posting Komentar