16 Agustus 2016

         Pagi itu, ku susuri jalan menuju calon sekolah baruku. Sebuah institut pertanian terbesar di Indonesia yang berlokasi di Bogor. Bukan untuk mengirim formulir pendaftaran, melainkan untuk mengajukan surat pengunduran. Parah? Ya, begitulah.
Commuter line menjadi alat transportasi yang ku gunakan untuk mencapai tujuan. Perjalanan hampir tiga jam yang membuatku terus menatap orang-orang yang duduk di seberang bangkuku membuatku berpikir, apa yang mereka cari?
Ku susuri jalan setapak dengan lebar hampir 5 meter itu dengan menapakkan kakiku sendiri. Ya, sekolah impian termahal bagi pecinta alam terbesar di Indonesia, aku menghampirimu! Gedung rektor Andi Hakim Nasution menjadi tempat pelabuhan terakhirku mengantarkan Kartu Tanda Mahasiswa dan beberapa lembar perjanjian untuk tinggal di asrama. As they told, Uang Kuliah Tunggal yang sempat dibayarkan saat daftar ulang couldn’t be returned. 10 dikali 11 lembar 100ribu-ku –oh, orangtuaku maksudku– tidak dapat dikembalikan, jika itu menggunakan uang 100ribuan. Kalau 50ribuan? Tinggal dikali 2 lagi. kalau 20ribuan? Tinggal dikali 5 lagi. Kalau seribuan? Ah, sudahlah, lagi pula ayahku mengirimnya via transfer, bukan cash.
Maka hari itu menjadi hari terburuk yang selalu ku sesali kehadirannya –terlepas dari bagaimana senangnya diriku diterima menjadi seorang calon mahasiswa disana.

Who messed up? Ya, that’s my self. And there’s no one would know how hard to understand me.


Hff. I don't even know how did I put that smile.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Kun Anta

Resensi Buku Bidadari Bermata Bening

My ABC Friends